BAB.I.PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia adalah
bahasa resmi Republik Indonesia[1] dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia.[2] Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya sehari sesudahnya, bersamaan dengan mulai berlakunya
konstitusi. Di Timor Leste, bahasa Indonesia berstatus sebagai bahasa kerja.
Dari sudut pandang linguistik,
bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam bahasa Melayu.[3]
Dasar yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau (wilayah Kepulauan Riau sekarang)[4]
dari abad ke-19. Dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat
penggunaanya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan
berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20. Penamaan "Bahasa
Indonesia" diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928,
untuk menghindari kesan "imperialisme bahasa" apabila nama bahasa
Melayu tetap digunakan.[5] Proses ini menyebabkan berbedanya Bahasa
Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung
Malaya. Hingga saat ini, Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang
terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan
dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Meskipun dipahami dan
dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, Bahasa Indonesia bukanlah bahasa
ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia
menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu.[6]
Penutur Bahasa Indonesia kerap kali menggunakan versi sehari-hari (kolokial)
dan/atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya.
Meskipun demikian, Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di
perguruan-perguruan, di media massa, sastra,
perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya,[7]
sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.
Fonologi dan tata bahasa
Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah.[8] Dasar-dasar yang penting
untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa
minggu.[9]
(1)Pasal
36 Undang-Undang Dasar RI 1945. (1)Butir tiga Sumpah
Pemuda oktober1928. (3)Kridalaksana H. 1991.
Pendekatan tentang Pendekatan Historis dalam Kajian Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia.
Dalam Kridalaksana H. (penyunting). Masa Lampau bahasa Indonesia: Sebuah
Bunga Rampai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
(4)Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I
1939 di Solo: "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe
jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe' akan tetapi jang
soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam
baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat diseloeroeh
Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam
kebangsaan Indonesia", dikutip di Pendahuluan KBBI cetakan ketiga. (5)Asmadi T.D. Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia.
Laman Lembaga Pers Dr.
Sutomo. Edisi 08 Februari 2010. diakses 5 Maret 2010.
(6)Depdiknas
Terbitkan Peta Bahasa Blog BahasaKita 4 Maret 2009, mirror dari berita
AntaraOnline edisi 22 Oktober 2008. 7)http://www.ohio.edu/LINGUISTICS/indonesian/index.html
Why Indonesian is important to learn. Situs pengajaran bahasa Indonesia
di Ohio State University.
(8)Farber, Barry. J. How to learn any language quickly,
enjoyably and on your own. Citadel Press. 1991. (9)Eliot, J., Bickersteth, J. Sumatra Handbook.
Footprint. 2000.
BAB.II. SEJARAH
II.A. Masa
Lalu Sebagai Bahasa Melayu
Bahasa Indonesia adalah varian
bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari
cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan sebagai lingua franca
di Nusantara kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Aksara pertama dalam bahasa
Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan
bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini,
berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan.
Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari
Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui bahasa
Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan
dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi
beragam.
Istilah Melayu atau Malayu
berasal dari Kerajaan Malayu, sebuah kerajaan Hindu-Budha pada abad ke-7 di
hulu sungai Batanghari, Jambi di pulau Sumatera, jadi secara geografis semula
hanya mengacu kepada wilayah kerajaan tersebut yang merupakan sebagian dari
wilayah pulau Sumatera. Dalam perkembangannya pemakaian istilah Melayu mencakup
wilayah geografis yang lebih luas dari wilayah Kerajaan Malayu tersebut,
mencakup negeri-negeri di pulau Sumatera sehingga pulau tersebut disebut juga
Bumi Melayu seperti disebutkan dalam Kakawin Nagarakertagama.
Ibukota Kerajaan Melayu
semakin mundur ke pedalaman karena serangan Sriwijaya dan masyarakatnya
diaspora keluar Bumi Melayu, belakangan masyarakat pendukungnya yang mundur ke
pedalaman berasimilasi ke dalam masyarakat Minangkabau menjadi klan Malayu
(suku Melayu Minangkabau) yang merupakan salah satu marga di Sumatera Barat.
Sriwijaya berpengaruh luas hingga ke Filipina membawa penyebaran Bahasa Melayu
semakin meluas, tampak dalam prasasti Keping Tembaga Laguna.
Bahasa Melayu kuno yang
berkembang di Bumi Melayu tersebut berlogat "o" seperti Melayu Jambi,
Minangkabau, Kerinci, Palembang dan Bengkulu. Semenanjung Malaka dalam
Nagarakretagama disebut Hujung Medini artinya Semenanjung Medini.
Dalam perkembangannya orang
Melayu migrasi ke Semenanjung Malaysia
(= Hujung Medini) dan lebih banyak lagi pada masa perkembangan
kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka, istilah
Melayu bergeser kepada Semenanjung Malaka (= Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut
Semenanjung Melayu atau Tanah Melayu. Tetapi nyatalah bahwa istilah Melayu itui
berasal dari Indonesia.
Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat
"e".
Kesultanan Malaka dimusnahkan
oleh Portugis tahun 1512 sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur
kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau
Kalimantan, jadi diduga pemakai bahasa Melayu ini bukan penduduk asli Sumatera
tetapi dari pulau Kalimantan. Suku Dayak yang
diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatera misalnya Dayak
Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban yang semuanya berlogat
"a" seperti bahasa Melayu Baku.
Penduduk asli Sumatera
sebelumnya kedatangan pemakai bahasa Melayu tersebut adalah nenek moyang suku
Nias dan suku Mentawai. Dalam perkembangannya istilah Melayu kemudian mengalami
perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan
kepulauan Nusantara.
Secara sudut pandang historis
juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan
Nusantara, yang dikenal sebagai rumpun Indo-Melayu terdiri Proto Melayu (Melayu
Tua/Melayu Polinesia) dan Deutero Melayu (Melayu Muda). Setelah mengalami kurun
masa yang panjang sampai dengan kedatangan dan perkembangannya agama Islam,
suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi sebuah
etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya didalamnya juga telah mengalami
amalgamasi dari beberapa unsur etnis.
M. Muhar Omtatok, seorang
Seniman, Budayawan dan Sejarahwan menjelaskan sebagai berikut: "Melayu
secara puak (etnis, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti
kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau
moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya. Beberapa
tempat di Sumatera Utara, ada beberapa Komunitas keturunan Batak yang mengaku
Orang Kampong - Puak Melayu
Kerajaan Sriwijaya dari abad
ke-7 Masehi diketahui memakai bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuna)
sebagai bahasa kenegaraan. Lima
prasasti kuna yang ditemukan di Sumatera bagian selatan peninggalan kerajaan
itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa
Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan
bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan pula dokumen-dokumen dari abad
berikutnya di Pulau Jawa[10] dan Pulau Luzon.[11]
Kata-kata seperti samudra, istri, raja, putra, kepala, kawin, dan kaca
masuk pada periode hingga abad ke-15 Masehi.
(10)muan prasasti berbahasa
Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka tahun abad ke-9) dan di dekat Bogor (Prasasti Bogor)
dari abad ke-10 menunjukkan adanya penyebaran penggunaan bahasa ini di Pulau
Jawa. (11)Keping Tembaga Laguna (900 M) yang ditemukan di dekat
Manila, Pulau Luzon, berbahasa Melayu Kuna, menunjukkan keterkaitan wilayah itu
dengan Sriwijaya.
Pada abad ke-15 berkembang
bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval
Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya
kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Peggunaannya terbatas di
kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Jawa, dan Semenanjung Malaya.[rujukan?]
Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang
dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatera dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki
budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu. Ciri paling
menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa
Arab dan bahasa Parsi, sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai
masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab,
kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk,
dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses
penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.
Kedatangan pedagang Portugis,
diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah
kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya
kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja,
sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak
memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam
upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti
asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.
Bahasa yang dipakai pendatang
dari Cina juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di
antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat
diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan
keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan
cukong.
Jan Huyghen van Linschoten
pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa
bahasa orang Melayu/Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di
"dunia timur".[12] Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini
melahirkan berbagai varian lokal dan temporal. Bahasa perdagangan menggunakan
bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis,
bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pidginisasi di beberapa
kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara,
misalnya di Manado, Ambon,
dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa
Melayu pidgin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang
terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama
berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19).[13] Varian-varian lokal
ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.
(12) Best
of The Best (Crème de la Crème) dalam http://www.indodic.com/Interlang.htm.(13)Hal
ini tidak mengherankan karena banyak dari pengusaha penerbitan di kala itu
berasal dari etnis Tionghoa(=ttp://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia)
Terobosan penting terjadi
ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor
(pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak
saat itu dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged,
sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki
kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.
Hingga akhir abad ke-19 dapat
dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal
masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku serta bahasa Melayu
Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat
dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai
bahasa kedua atau ketiga.
II.B.Bahasa
Indonesia
Pemerintah kolonial
Hindia-Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu
administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda
para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri pada bahasa Melayu
Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan) sejumlah sarjana Belanda
mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Promosi bahasa Melayu pun dilakukan
di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa
Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah "embrio" bahasa Indonesia
yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu
Riau-Johor.
Pada awal abad ke-20
perpecahan dalam bentuk baku
tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda)
mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu
(kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan
Wilkinson.[12] Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab
Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan
Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Intervensi pemerintah semakin
kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi
Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai
Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes,
melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di
berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan
program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700
perpustakaan.[14] Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai
"bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin,
seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah.
(14)Http://www1.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/25/1520409/Balai.Pustaka..Berbenah.Setelah.Satu.Abad.
Kompas daring, 25 November 2009.
Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin
mengatakan;
“Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang
ada di Indonesia
dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa
persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa
persatuan."[15]
Selanjutnya perkembangan
bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau,
seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka,
Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi
dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.[16]
BAB.III.
PERISTIWA-PERISTIWA PENTING
·
Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah
badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur
(Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang
tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
·
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo
menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya
dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[17]
·
Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi Muhammad
Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
·
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan
muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana.
·
Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres
Bahasa Indonesia
I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan
budayawan Indonesia
saat itu.
·
Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia
sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan
Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
(17) Etek, Azizah (2008). Kelah
Sang Demang, Jahja Datoek Kajo, Pidato Otokritik di Volksraad 1927 - 1939.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1954
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan
perwujudan tekad bangsa Indonesia
untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai
bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
·
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden
Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang
dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
·
Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia
(Wawasan Nusantara).
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1978
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan
dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan
kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga
berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
·
Tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam
rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan
bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan
sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang
mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa
Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 3 November 1988
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri
oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat
seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia.
Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 28 Oktober s.d 2 November 1993
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770
pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi
Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia,
Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa
Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
·
Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan
Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya
Badan Pertimbangan Bahasa.
BAB.IV.
PENYEMPURNAAN EJAAN
Ejaan-ejaan untuk bahasa
Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut;
IV.A. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini merupakan ejaan bahasa
Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi
Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada
tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van
Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari
ejaan ini yaitu:
- Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
- Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
- Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
- Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.
IV.B. Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada
tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal
dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:
- Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
- Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
- Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
- Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.
IV.C. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Konsep ejaan ini dikenal pada
akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya,
diurungkanlah peresmian ejaan ini.
IV.D.
Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan
Ejaan ini diresmikan
pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia.
Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD,
ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.
Perubahan:
Indonesia (pra-1972)
|
Malaysia (pra-1972)
|
Sejak
1972
|
Tj
|
ch
|
C
|
Sj
|
Sh
|
Sy
|
oe
|
U
|
u
|
Nj
|
Ny
|
Ny
|
J
|
Y
|
Y
|
Dj
|
J
|
J
|
Ch
|
Kh
|
Kh
|
Catatan: Tahun 1947 "oe" sudah digantikan dengan
"u".
BAB.V. SENARAI
KATA SERAPAN DALAM BAHASA INDONESIA
Bahasa Indonesia adalah bahasa
yang terbuka. Maksudnya ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari
bahasa lain.
Asal bahasa
|
Jumlah
Kata
|
Belanda
|
3.280 kata
|
Inggris
|
1.610 kata
|
Arab
|
1.495 kata
|
Sansekerta-Jawa Kuno
|
677 kata
|
Tionghoa
|
290 kata
|
Portugis
|
131 kata
|
Tamil
|
83 kata
|
Parsi
|
63kata
|
Hindi
|
7 kata
|
Sumber: Buku berjudul "Senarai Kata Serapan dalam
Bahasa Indonesia" (1996) yang disusun oleh Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (sekarang bernama Pusat Bahasa).
BAB.VI. PENGGOLONGAN
Indonesia
termasuk anggota dari Bahasa Melayu-Polinesia Barat subkelompok dari bahasa
Melayu-Polinesia yang pada gilirannya merupakan cabang dari bahasa Austronesia. Menurut situs Ethnologue, bahasa
Indonesia didasarkan pada bahasa Melayu dialek Riau yang dituturkan di timur
laut Sumatra.
BAB.VII. DISTRIBUSI
GEOGRAFIS
Bahasa Indonesia dituturkan di
seluruh Indonesia, walaupun
lebih banyak digunakan di area perkotaan (seperti di Jakarta dengan dialek Betawi serta logat
Betawi).
Penggunaan bahasa di daerah biasanya lebih resmi,
dan seringkali terselip dialek dan logat di daerah bahasa Indonesia itu
dituturkan. Untuk berkomunikasi dengan sesama orang sedaerah kadang bahasa
daerahlah yang digunakan sebagai pengganti untuk bahasa Indonesia.
BAB.VIII. KEDUDUKAN
RESMI
Bahasa Indonesia memiliki
kedudukan yang sangat penting seperti yang tercantum dalam:
- Ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 dengan bunyi, ”Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
- Undang-Undang Dasar RI 1945 Bab XV (Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan) Pasal 36 menyatakan bahwa ”Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”.
Dari Kedua hal tersebut, maka kedudukan bahasa
Indonesia sebagai:
- Bahasa kebangsaan, kedudukannya berada di atas bahasa-bahasa daerah.
- Bahasa negara (bahasa resmi Negara Kesatuan Republik Indonesia)
BAB.IX. TATA
BAHASA INDONESIA
Dibandingkan dengan
bahasa-bahasa Eropa, bahasa Indonesia tidak menggunakan kata bergender. Sebagai
contoh kata ganti seperti "dia" tidak secara spesifik menunjukkan
apakah orang yang disebut itu lelaki atau perempuan. Hal yang sama juga
ditemukan pada kata seperti "adik" dan "pacar" sebagai contohnya.
Untuk memerinci sebuah jenis kelamin, sebuah kata sifat harus ditambahkan,
"adik laki-laki" sebagai contohnya.
Ada juga kata yang berjenis kelamin, seperti
contohnya "putri" dan "putra". Kata-kata seperti ini
biasanya diserap dari bahasa lain. Pada kasus di atas, kedua kata itu diserap
dari bahasa Sanskerta melalui bahasa Jawa Kuno.
Untuk mengubah sebuah kata
benda menjadi bentuk jamak digunakanlah reduplikasi (perulangan kata), tapi
hanya jika jumlahnya tidak terlibat dalam konteks. Sebagai contoh "seribu
orang" dipakai, bukan "seribu orang-orang". Perulangan kata juga
mempunyai banyak kegunaan lain, tidak terbatas pada kata benda.
Bahasa Indonesia menggunakan
dua jenis kata ganti orang pertama jamak, yaitu "kami" dan
"kita". "Kami" adalah kata ganti eksklusif yang berarti
tidak termasuk sang lawan bicara, sedangkan "kita" adalah kata ganti
inklusif yang berarti kelompok orang yang disebut termasuk lawan bicaranya.
Susunan kata dasar yaitu
Subyek - Predikat - Obyek (SPO), walaupun susunan kata lain juga mungkin. Kata
kerja tidak di bahasa berinfleksikan kepada orang atau jumlah subjek dan objek.
Bahasa Indonesia juga tidak mengenal kala (tense). Waktu dinyatakan
dengan menambahkan kata keterangan waktu (seperti, "kemarin" atau
"esok"), atau petunjuk lain seperti "sudah" atau
"belum".
Dengan tata bahasa yang cukup
sederhana bahasa Indonesia mempunyai kerumitannya sendiri, yaitu pada
penggunaan imbuhan yang mungkin akan cukup membingungkan bagi orang yang
pertama kali belajar bahasa Indonesia.
BAB.X. AWALAN,
AKHIRAN, SISIPAN
Bahasa Indonesia mempunyai
banyak awalan, akhiran, maupun sisipan, baik yang asli dari bahasa-bahasa
Nusantara maupun dipinjam dari bahasa-bahasa asing.
Awalan
|
Fungsi
(pmbentuk)
|
Perubahan
bentuk
|
Kaitan
|
Ber-
|
verba
|
Be-;bel-
|
Per-
|
Ter-
|
Verba; adjektiva
|
Te-;tel-
|
Ke-
|
Meng-
|
Verba (aktif)
|
Me-;men-;mem-;meny-
|
di-;pe-;ku-kau;
|
di-
|
Verba (pasif)
|
-
|
Meng-
|
Ke-
|
Nomina;numeralia;verba (percakapan)
|
-
|
Ter-
|
Per-
|
Verba;nomina
|
Pe-;pel-
|
Ber-
|
Peng-
|
nomina
|
Pe-;pem-;pen-;peny-;
|
Meng-
|
Se-
|
Klitika;adverbia
|
-
|
-
|
Ku-;kau-
|
Verba (aktif)
|
-
|
Me-
|
BAB.XI. DIALEK
DAN RAGAM BAHASA
Pada keadaannya bahasa
Indonesia menumbuhkan banyak varian yaitu varian menurut pemakai yang disebut
sebagai dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut sebagai ragam bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
- Dialek regional, yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu dialek Medan.
- Dialek sosial, yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek remaja.
- Dialek temporal, yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
- Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata.
Ragam bahasa dalam bahasa
Indonesia berjumlah sangat banyak dan tidak terhad. Maka itu, ia dibagi atas
dasar pokok pembicaraan, perantara pembicaraan, dan hubungan antarpembicara.
Ragam bahasa menurut pokok pembicaraan meliputi:
- ragam undang-undang
- ragam jurnalistik
- ragam ilmiah
- ragam sastra
Ragam bahasa menurut hubungan antarpembicara
dibagi atas:
- ragam lisan, terdiri dari:
- ragam percakapan
- ragam pidato
- ragam kuliah
- ragam panggung
- ragam tulis, terdiri dari:
- ragam teknis
- ragam undang-undang
- ragam catatan
- ragam surat-menyurat
Dalam kenyataannya, bahasa baku tidak dapat digunakan untuk segala
keperluan, tetapi hanya untuk:
- komunikasi resmi
- wacana teknis
- pembicaraan di depan khalayak ramai
- pembicaraan dengan orang yang dihormati
Selain keempat penggunaan tersebut, dipakailah
ragam bukan baku.